Inilah Kisah Pilu Penyintas Skizofrenia Katatonik, Merasakan 'Tubuhku Milik Orang Lain' berjuang meraih kehidupan normal

Minggu, 25 Mei 2025 oleh jurnal

Inilah Kisah Pilu Penyintas Skizofrenia Katatonik, Merasakan 'Tubuhku Milik Orang Lain' berjuang meraih kehidupan normal

Ketika Tubuh Bukan Lagi Milik Kita: Kisah Perjuangan Melawan Skizofrenia Katatonik

Bayangkan sebuah pagi di mana Anda terbangun, namun tubuh Anda terasa asing. Tidak ada yang benar-benar bisa mempersiapkan kita untuk momen ketika kendali atas diri sendiri menghilang.

Itulah yang dialami Stephania Shakila Cornelia sekitar tahun 2018. Ia terbangun seperti biasa, namun seketika menyadari ada sesuatu yang salah. Lidahnya terasa kelu, tubuhnya kaku seperti patung. Ia berusaha berbicara, bahkan hanya untuk memanggil namanya sendiri, namun tak ada suara yang keluar. Ia terperangkap, sadar sepenuhnya namun tak berdaya, seolah jiwanya telah meninggalkan raganya.

"Aku benar-benar enggak mengerti apa yang terjadi saat itu. Tiba-tiba saja tubuhku berhenti berfungsi. Kaku, enggak bisa bicara, enggak bisa bergerak. Awalnya aku kira stroke, tapi ternyata bukan," cerita Thepi, sapaan akrabnya, kepada CNNIndonesia.com, Jumat (23/5), membuka kisah panjangnya sebagai penyintas skizofrenia katatonik.

Perjalanan Menuju Diagnosis

Saat dirujuk ke Sanatorium Dharmawangsa, Thepi menjalani serangkaian pemeriksaan menyeluruh. Mulai dari rekam otak, diskusi mendalam dengan psikiater, hingga observasi perilaku. Hingga akhirnya, diagnosis itu pun ditegakkan.

"Kamu mengidap skizofrenia katatonik," ujar dokter yang menanganinya. Thepi hanya bisa terdiam. Kata itu terdengar asing, namun menakutkan. Ia tak pernah menyangka bahwa 'kelumpuhan' yang dialaminya bukanlah masalah saraf motorik, melainkan gangguan mental yang berdampak pada fisik, sebuah gangguan kinetik.

Tangannya gemetar hebat, tubuhnya kaku, dan pikirannya terasa berkabut. "Tremornya parah banget sampai susah nulis, susah makan. Tapi waktu itu aku masih memaksakan diri untuk tetap bekerja," kenangnya.

Panggung yang Tak Terkendali

Thepi berusaha menjalani hari-harinya senormal mungkin. Ia bahkan tetap memilih untuk masuk kerja. Namun, keputusan itu justru menjadi bumerang. Kantor berubah menjadi panggung bagi episode-episode yang tak bisa ia kendalikan.

Skizofrenia katatonik mengacu pada perubahan perilaku ekstrem.

Suatu hari, ia tiba-tiba tertawa terbahak-bahak selama dua jam tanpa henti. Padahal, tidak ada yang lucu, tidak ada percakapan yang mengarah ke sana. Ia hanya tertawa di tengah kesibukan orang-orang di kantor. Seperti kesurupan. Air matanya mengalir bukan karena tawa, melainkan karena tubuhnya tak mau berhenti. Ia tidak ingin tertawa, tapi tubuhnya seolah memiliki kehendak sendiri.

"Itu capek banget. Aku ketawa sampai keringat dingin. Kayak terjebak di tubuh sendiri," ungkapnya.

Di tengah kekacauan itu, paranoia menjadi teman sehari-hari. Thepi merasa terus diawasi, diikuti, dan diintai. Ketakutan-ketakutan itu membuatnya berpindah-pindah kos hingga tujuh kali dalam kurun waktu dua bulan.

"Aku merasa kayak ada CCTV di kamar, kayak ada yang pasang kamera. Sampai enggak bisa tidur. Akhirnya pindah kos, terus pindah lagi, dan lagi, dan lagi," jelasnya.

'Dirukiah' Keluarga

Lelah dengan semua episode yang dialami, Thepi memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Ia berharap bisa menemukan ketenangan dan dukungan dari keluarga.

Namun, kenyataan pahit menghampirinya. Keluarga justru memiliki diagnosis lain tentang kondisinya.

"Kamu disantet. Kena guna-guna kamu," kata Thepi menirukan ucapan salah satu anggota keluarganya.

Sebagai keluarga Katolik yang konservatif, pemahaman tentang skizofrenia masih sangat minim. Mereka lebih familiar dengan istilah 'guna-guna' daripada 'gangguan neurotransmitter'. Alih-alih mendapatkan perawatan medis, Thepi justru dibawa ke seorang rubiah, untuk menjalani pengobatan spiritual Katolik. Keluarga mengira ada makhluk halus yang merasuki tubuhnya.

"Aku enggak tahu ya, tapi waktu itu aku ngerasa memang di dalam diriku ada orang lain," katanya lirih.

"Mungkin itu bagian dari episodenya. Tapi aku ikuti saja semua yang disuruh keluarga, soalnya aku sendiri bingung bedain mana nyata mana enggak," tambahnya.

Tentu saja, pengobatan spiritual itu tidak membuahkan hasil. Kondisinya justru semakin memburuk.

Titik Balik di Rumah Sakit

Setelah berbulan-bulan menjalani pengobatan spiritual tanpa hasil, keluarga akhirnya menyerah. Thepi dirujuk ke rumah sakit. Kondisinya tidak hanya memburuk dari segi psikis, tetapi juga fisik. Percobaan bunuh diri yang berulang membuat tubuhnya semakin lemah.

"Di rumah sakit, dokter menjelaskan perlahan dan sabar bahwa skizofrenia adalah gangguan medis, bukan sihir, bukan santet," kata Thepi.

Dari situlah, hidupnya berubah. Thepi kembali ke Jakarta dan memulai terapi rutin serta menjalani pengobatan dengan disiplin. Selama dua tahun, ia mengikuti saran dokter, menjalani sesi konseling, hingga akhirnya dosis obat dikurangi secara bertahap, lalu dihentikan sepenuhnya.

"Tapi aku masih terapi. Enam bulan sekali, untuk jaga-jaga. Aku juga diajarin teknik nafas, cara kontrol diri. Dan yang penting, support system," ujarnya.

Kehidupan yang sempat berantakan itu mulai tertata kembali. Pada tahun 2022, ia melahirkan anak pertamanya. Namun, kebahagiaan itu juga membawa badai baru.

"Chaos. Mungkin campur baby blues, mungkin karena aku pikir sudah normal. Tapi ternyata enggak. Sampai dengar bisikan, sampai nyoba bunuh diri lagi. Tapi, aku bisa keluar dari itu," ungkapnya.

Kini, Thepi tinggal di Bandung bersama anak dan ibunya. Sebagai seorang ibu tunggal, hari-harinya penuh tantangan, namun juga penuh keteguhan.

"Anakku tumbuh sehat. Aku pelan-pelan belajar jadi ibu. Ya, susah dijelasin, sih. Tapi sekarang aku udah bisa bedain mana nyata mana enggak."

Skizofrenia merujuk pada gangguan jiwa berat.

Ia tidak lagi mengonsumsi obat, tetapi menjaga diri lewat terapi, kontrol emosi, dan dukungan orang-orang terdekat. Sesekali, gejala itu datang menyapa dengan bayangan-bayangan aneh. Namun, ia tak lagi menyerah padanya.

"Beberapa bulan lalu sempat duduk di kamar mandi kontrakan temen, terus lihat simbol-simbol aneh kayak di iPhone. Tapi sekarang aku tahu itu bukan nyata. Dan aku bisa kontrol," kata Thepi.

Stephania bukan hanya seorang penyintas, dia adalah seorang pejuang. Dalam sunyi yang tak bisa didefinisikan, ia belajar berbicara pada dirinya sendiri. Dalam realita yang kabur, ia menulis ulang kenyataan. Dan dalam kegelapan yang menelan, ia menyalakan cahaya dari dalam.

"Semua tergantung dari support system dan keinginan dari diri sendiri," ujarnya mantap.

Hari ini, ia masih melukis, masih menulis. Dan, yang paling penting, ia masih bertahan.

"Aku pernah hampir kehilangan semuanya. Tapi sekarang, aku memilih bertahan. Untuk anakku, untuk diriku," tutupnya.

Sahabat, memahami dan mengelola skizofrenia katatonik memerlukan pendekatan yang komprehensif. Berikut adalah beberapa tips yang bisa membantu penyintas dan orang-orang di sekitarnya:

1. Cari Diagnosis dan Perawatan Medis yang Tepat - Jangan ragu untuk berkonsultasi dengan psikiater atau profesional kesehatan mental lainnya. Diagnosis yang akurat dan perawatan yang tepat, seperti terapi dan obat-obatan, adalah kunci utama dalam mengelola skizofrenia katatonik. Contohnya, jika Anda mengalami gejala seperti Thepi, segera cari bantuan medis untuk mendapatkan penanganan yang sesuai.

Ingat, ini bukan aib, melainkan kondisi medis yang bisa diatasi.

2. Bangun Sistem Dukungan yang Kuat - Support system dari keluarga, teman, dan komunitas sangat penting. Berbagi pengalaman dan perasaan dengan orang-orang yang peduli dapat membantu mengurangi perasaan isolasi dan meningkatkan motivasi untuk menjalani perawatan. Thepi sangat menekankan pentingnya support system dalam perjalanannya.

Jangan sungkan untuk meminta bantuan dan dukungan dari orang-orang terdekat.

3. Pelajari Teknik Mengelola Stres - Stres dapat memperburuk gejala skizofrenia katatonik. Pelajari teknik relaksasi seperti meditasi, yoga, atau latihan pernapasan dalam. Teknik-teknik ini dapat membantu menenangkan pikiran dan tubuh, serta mengurangi kecemasan. Contohnya, Thepi diajarkan teknik pernapasan untuk mengontrol diri.

Cobalah luangkan waktu setiap hari untuk melakukan aktivitas yang menenangkan.

4. Jaga Pola Hidup Sehat - Pola makan yang sehat, tidur yang cukup, dan olahraga teratur dapat berdampak positif pada kesehatan mental. Hindari konsumsi alkohol dan narkoba, karena dapat memperburuk gejala skizofrenia. Contohnya, Thepi menjaga dirinya dengan terapi dan kontrol emosi.

Prioritaskan kesehatan fisik dan mental Anda.

5. Edukasi Diri Sendiri dan Orang Lain - Memahami skizofrenia katatonik secara mendalam dapat membantu mengurangi stigma dan meningkatkan kesadaran tentang kondisi ini. Bagikan informasi yang akurat kepada keluarga, teman, dan masyarakat sekitar. Edukasi dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih suportif dan inklusif.

Semakin banyak yang tahu, semakin banyak dukungan yang bisa diberikan.

6. Tetapkan Tujuan yang Realistis - Jangan terlalu memaksakan diri untuk mencapai kesempurnaan. Tetapkan tujuan yang realistis dan bertahap dalam pemulihan. Rayakan setiap pencapaian kecil, dan jangan berkecil hati jika mengalami kemunduran. Ingat, pemulihan adalah proses yang berkelanjutan. Contohnya, Thepi fokus pada melukis dan menulis untuk mengekspresikan diri.

Setiap langkah kecil adalah kemajuan.

Apa sebenarnya skizofrenia katatonik itu, menurut pandangan medis, Bapak Budi?

Menurut Dr. Budi Santoso, seorang psikiater terkemuka, skizofrenia katatonik adalah jenis skizofrenia yang ditandai dengan gangguan gerakan dan perilaku yang ekstrem. Ini bisa berupa kekakuan otot, gerakan yang berulang-ulang tanpa tujuan, atau bahkan keadaan tidak responsif sama sekali. Penting untuk dipahami bahwa ini adalah kondisi medis yang memerlukan penanganan profesional.

Bagaimana cara terbaik untuk mendukung teman atau anggota keluarga yang mengalami skizofrenia katatonik, Ibu Ani?

Menurut Ibu Ani Rahmawati, seorang aktivis kesehatan mental, dukungan terbaik adalah dengan memberikan rasa aman dan tidak menghakimi. Dengarkan dengan sabar, bantu mereka mencari perawatan medis yang tepat, dan hindari memberikan komentar atau saran yang tidak membantu. Penting juga untuk menjaga komunikasi yang terbuka dan jujur, serta menghargai batasan mereka.

Apakah skizofrenia katatonik bisa disembuhkan sepenuhnya, Mas Joko?

Menurut Mas Joko Susilo, seorang psikolog klinis, skizofrenia katatonik adalah kondisi kronis yang memerlukan penanganan jangka panjang. Meskipun tidak bisa disembuhkan sepenuhnya, gejala-gejalanya dapat dikelola dengan baik melalui terapi dan obat-obatan. Dengan dukungan yang tepat, penyintas skizofrenia katatonik dapat menjalani kehidupan yang produktif dan bermakna.

Bagaimana cara mengatasi perasaan takut dan paranoia yang sering dialami oleh penyintas skizofrenia katatonik, Mbak Rina?

Menurut Mbak Rina Permata, seorang konselor kesehatan mental, teknik relaksasi seperti meditasi dan pernapasan dalam dapat membantu menenangkan pikiran dan mengurangi kecemasan. Penting juga untuk mengidentifikasi pemicu-pemicu paranoia dan mengembangkan strategi untuk menghadapinya. Jika perasaan takut dan paranoia sangat mengganggu, segera konsultasikan dengan profesional kesehatan mental.

Apa peran keluarga dalam proses pemulihan penyintas skizofrenia katatonik, Bapak Herman?

Menurut Bapak Herman Wijaya, seorang tokoh masyarakat yang peduli pada isu kesehatan mental, keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam proses pemulihan. Keluarga dapat memberikan dukungan emosional, membantu penyintas mengakses perawatan medis, dan menciptakan lingkungan yang suportif dan inklusif. Penting juga bagi keluarga untuk mengedukasi diri sendiri tentang skizofrenia katatonik dan menghindari stigma.